Tuesday 20 August 2013

Saat Berbentuk DIS, Dua Raja Memimpin Surakarta

SOLO -  Tak mudah mencari saksi yang merasakan saat Surakarta menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Melalui informasi dari salah satu kerabat Mangkunegaran, Okezone, menemukan salah salah satu saksi sejarah saat Surakarta masih berbentuk DIS.

Saksi sejarah itu bernama Soehari Soemartono (86) warga RT 01/01 Sangkrah, Pasar Kliwon, Kota Solo, Jawa Tengah. Awalnya, perempuan keturunan Pura Mangkunegaran itu enggan berbagi cerita saat Surakarta masih berbentuk DIS selama sembilan bulan.

Meski usianya sudah lanjut, namun istri pendiri topografi milik TNI AD di lingkungan Keraton Kasunanan ini ingat benar saat Surakarta masih berbentuk Daerah Istimewa. Menurutnya, saat kolonial masih berkuasa, Surakarta disebut Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau daerah swapraja.

Waktu itu, Surakarta dipimpin dua raja sekaligus, yaitu Paku Buwono (PB) XII dan KGPAA Mangkunegoro. Keduannya diberi kekuasaan penuh untuk mengatur daerahnya masing-masing.

"Saya masih ingat banget, waktu itu Surakarta yang memimpin ada dua. Yaitu Sinuhun PB XII dan Sinuhun Mangkunegoro VIII. Tapi biar dipimpin dua raja, bisa bekerja sama dengan baik. Dan tidak ada masalah sama sekali. Kota Solo aman," jelas Soehari, saat ditemui, di kediamannya, Selasa (20/8/2013).

Saat Jepang masuk ke kota Solo, menurut Soehari selain mengukuhkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa dengan membiarkan Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegara diberi wewenang penuh. Jepang juga mengubah nama Surakarta menjadi Kochi Sumotyookan.

"Habis itu saya sudah tidak tahu lagi. Tahu-tahu, kalau sekarang mobil penyuluhan gitu, keliling kota. Dan orang yang di mobil itu pada teriak-teriak kalau kekuasaan keraton dan Pura Mangkunegara dicabut," terang Soehari yang mengaku saat itu baru berumur 16 tahun.

Saat diumumkannya kekuasaan penuh Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran atas daerahnya dicabut, diakui Soehari sempat membuat rakyat marah.

"Setiap mobil yang memberitahukan kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran dicabut berkeliling, rakyat selalu melempari mobil itu," ujarnya.

Itu dilakukan karena rakyat Solo marah dengan dicabutnya kekuasaan Keraton Surakarta dan Mangkunegaran. Sedangkan Yogyakarta tidak dicabut. Malah sebaliknya Yogyakarta justru ditetapkan menjadi Ibu Kota RI yang membuat warga Solo cemburu.

Usai kekuasaan mengatur daerah sendiri dicabut, dari pihak pemerintah RI, mendatangi para camat yang diangkat pihak Kasunanan maupun Pura Mangkunegaran.

"Utusan pemerintah saat itu menawari para camat yang diangkat Keraton Surakarta dan Mangkunegaran agar mau menjadi camat di bawah pemerintah. Bagi yang tidak mau, diminta mundur. Dan Ayah saya yang saat itu menjabat sebagai camat memilih mundur karena tidak mau menghianati Mangkunegaran," pungkasnya.

No comments:

Post a Comment