Monday 26 August 2013

Logika Politik Vs Logika Hukum Kasus SKK Migas

Persoalan korupsi di bumi Indonesia adalah catatan sejarah yang terus berulang. Sejak 1799 bermula dari asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang kemudian diplesetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, hingga sekarang korupsi terus menggelora.

Bahkan pada 12 Desember 1642 Gubernur Jendral Antonio Van Diemen bahkan menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang terjadi di tubuh VOC. Berbagai upaya untuk memberantas korupsi di dalam tubuh asosiasi dagang ini tak berhasil. Sehingga tak jarang dikatakan bahwa korupsi saat itu sudah menjadi suatu kenyataan hidup.

Layaknya zaman VOC dunia migas Indonesia nampaknya juga tidak jauh dari persoalan korupsi ini. Yang terbaru SKK Migas menjadi sorotan akhir-akhir ini karena ketuanya Rudi Rubiandini ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap dari pihak swasta, Kernel Oil Pte Ltd. Ikut ditangkap dua orang lain dari pihak swasta tersebut, yakni Simon Gunawan dan Deviardi.
Komisaris PT Kernel Oil Private Limited (KOPL) Simon G Tanjaya, melalui pengacaranya, Junimart Girsang, mengaku menggelontorkan sejumlah uang demi memuluskan rencana PT KOPL untuk berekspansi ke kegiatan hulu minyak dan gas.

Simon mengaku menyerahkan uang kepada Deviardi, alias Ardi, pelatih golf Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini, senilai total US$700.000.

Ibarat gunung es, penangkapan Rudi Rubiandini dalam kasus dugaan suap hanyalah sepotong pembenaran adanya mafia minyak dan gas (migas). Yang masih terselubung jauh lebih besar dan itulah tugas Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuatnya menjadi kasatmata.

Keberhasilan KPK menangkap dan menetapkan mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi itu sebagai tersangka ialah cerita sukses. Sukses besar lantaran tak cuma uang yang disita merupakan yang terbesar sepanjang sejarah KPK, tetapi juga kali pertama patgulipat di sektor migas bisa diungkap. Total duit yang disita KPK US$1,1 juta plus S$127 ribu.

Melalui Surat Terbuka yang konon ditulis oleh Rudi, kendati surat ini masih simpang siur kebenarannya, kita dikesankan bahwa mafia migas dan kartel politik beroperasi bersamaan untuk menjerat pejabat untuk mendapat “rente”.

Motif penerimaan US$700.000 dikatakan disamping aspek kepentingan pribadi, ada juga aspek kepentingan politik. Kepentingan yang disebut terakhir dinilai jauh lebih dominan bagi tokoh-tokoh sekaliber Rudi.

Semua tokoh yang terjerat kasus suap, rata-rata dipandang untuk menutupi biaya politik tinggi. Korupsi politik ini menjadi modus operandi dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para tokoh, baik di jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Dalam kasus Rudi, Komite Konvensi Capres Demokrat segera membantah, dana Rudi mengalir ke acara audisi capres partai penguasa tersebut. Hinca Panjaitan, anggota komite itu, membantah aliran dana suap SKK Migas ke konvensi. Keberadaan Taufiqurrahman Rukie dalam komite, sebagai mantan Ketua KPK dan Pimpinan BPK, adalah jaminan bahwa sumber dana konvensi itu halal.

Pemisahan persoalan ekonomi dan politik harus mendapatkan sempadan yang jelas. Proses hukum yang tengah berjalan hendaknya tidak dipolitisasi. Kita mendukung upaya setiap aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi di dunia migas Indonesia.

Hipotesis politik yang mengait-kaitkan korupsi SKK migas dengan Konvensi Capres boleh-boleh saja untuk tetap menjaga agar masyarakat ikut mengawasi persoalan ini. Namun yang lebih penting adalah kita harus mengedepankan logika hukum yang ada.

Yohanes Wawengkang
Jl. Margonda Raya, No. 46, Depok, Jawa Barat
joewawengkang@gmail.com

No comments:

Post a Comment