Friday 30 August 2013

Iwan Jaya Azis: Bisa Saja Krisis Moneter Terulang

NAMA Iwan Jaya Azis sudah tak asing di telinga para birokrat, pengusaha, apalagi ekonom Indonesia. Ahli matematika ekonomi dan ekonomi regional ini adalah Guru Besar Cornell University, Amerika Serikat dan Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia (UI). Bulan Juli 2010, Iwan diangkat sebagai Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional Bank Pembangunan Asia (ADB) hingga kini.
Apa pandangannya tentang ambruknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah, termasuk sektor keuangan di sejumlah negara Asia? Iwan Purwantono dari InilahREVIEW dan beberapa wartawan lain mewawancarai lelaki kelahiranSurabaya, 17 Februari 1953, ini seusai diskusi bersama pelaku pasar yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Kamis pekan lalu. Petikannya:
Nilai tukar rupiah dan IHSG terus melemah, termasuk defisit neraca perdagangan yang semakin membengkak. Apa komentar Anda?
Untuk menghindari dari itu (krisis), kebijakannya memang bermacam-macam. Ya, semua sangat bergantung kepada pemerintah. Kalau ini saya tidak tahu. Saya lebih mendalami perekonomian negara lain, seperti Korea dan China.
Apakah krisis 1998 bisa terulang?
Kalau pemerintah tidak berhati-hati, bisa saja krisis moneter 1998 terulang. Saya kira, pemerintah sudah mempersiapkan langkah-langkahnya. Kita tunggu saja.
Beberapa negara di Asia, seperti Indonesia, Thailand, dan India mengalami defisit neraca berjalan dan jumlahnya cukup besar. Komentar Anda?
Ketiga negara itu, masalahnya memang mirip-mirip. Nilai tukarnya terpuruk. Namun yang paling parah adalah India dengan ruppe-nya. Nilai tukarnya anjlok besar-besaran.
Korea, berbeda lagi. Masalah ekonominya akibat kredit rumah tangga yang sangat besar. Volumenya jauh lebih besar dibandingkan utang Yunani. Yang ingin saya katakan, perekonomian negara-negara di Asia seperti Indonesia,Thailand, India, dan Korea, cukup spesifik. Mereka memiliki fase krisis yang berbeda. Tentu saja, penanganannya juga berbeda.
Apa dampak dari pelemahan ekonomi di Asia?
Yang jelas, pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia mulai meredup. Dalam catatan saya, tiga bulan terakhir ini, terjadi penurunan sampai 50%. Asia sudah bukan lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Apa penyebabnya? Apakah karena salah urus atau ada faktor eksternal?
Tentu, ada kaitannya dengan perkembangan di AS dan Eropa. Kalau Eropa, kita semua sudah tahu. Sedangkan AS, terkait kebijakan The Fed selaku bank sentral di sana. Apalagi kalau bukan rencana penghentian pelonggaran kuantitatif atau quantitative easing (QE).
Kalau AS jadi menghentikan QE, apakah perekonomian banyak negara bakal rontok?
Saya kok tidak yakin. Karena, Pemerintah AS belum pernah menjalankannya. Jadi, agak sulit memprediksinya. Bahkan boleh dibilang unpredictable. Bank sentral AS tidak bisa menetapkan kapan dimulainya penghentian QE dan pengurangan stimulusnya berapa. Saya kira, semuanya masih belum jelas.
Tapi, Chairman The Fed Ben Bernanke sudah mengatakan akan mengakhiri QE sampai 2014.
The Fed yang biasanya memborong obligasi senilai US$ 85 miliar tiap bulan, kemudian mau dikurangi menjadi US$ 60 miliar. Tapi, saya kok masih belum bisa yakin. Demikian pula kabar bahwa stimulus The Fed bakal distop sampai 2014, belum yakin juga. Bank sentral Amerika kelihatannya masih bingung. Ya termasuk itu, Bernanke.
Artinya, pencabutan QE dilakukan setelah AS terbebas dari krisis. Kalau sekarang, apakah AS sudah bisa dibilang bebas dari krisis?
Saya kira belum sepenuhnya. Karena indikatornya belum tercapai. Misalnya, disebut bebas dari krisis kalau angka inflasinya 2% serta jumlah penganggurannya di bawah 6%. Nah, kondisi tersebut belum terjadi.
Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-01 tahun ke-03 yang terbit, Senin, 26 Agustus 2013.

No comments:

Post a Comment